Aku Cinta tapi Tak Tahu Apa-apa

Sejak pagi tadi, Hiroshima diguyur hujan tanpa henti.
Bersenjatakan payung di tangan, aku berangkat dengan gagah berani menuju kampus HUE yang berada di puncak bukit sana. Hari ini aku cuma punya 1 kelas, Japanese History & Culture. Semuanya bisa dibilang berjalan dengan normal, selain 10 menit keterlambatan yang didalangi oleh sang Profesor dengan alasan hujan. Yah, itupun masih termasuk wajar, bukan?
Kelas dimulai dengan presentasi yang dibawakan oleh Kang mas KVB mengenai Ancient Japan.
Mr. S, sang Profesor juga bersikap seperti biasanya. Mengajukan pertanyaan- pertanyaan menarik di sela- sela presentasi.
Cukuplah untuk membuat kami berpikir keras sampai njedot- jedotin kepala untuk mengeluarkan sumbat yang mungkin menutupi kecemerlangan otak kami. Karena sedari tadi, sang Profesor tetap saja meminta jawaban yang lain.
Yang keluar selalu saja, “ya, itu juga bisa menjadi salah satu penjelasan. Tapi apa kira- kira yang menyebabkan Budhism diperkenalkan di Jepang?”
Well, setelah diskusi panjang lebar, akhirnya mbak M berhasil “menebak” secuil clue atas jawaban yang dimaksud “writing system”. Eww..bukan ini yang mau saya ceritakan. Cut!
Diskusi lain pun kembali tercipta. dan aku pun kembali melamun. hehe (nggak ding)
Presentasi terus berjalan, slide terus berganti. Hingga sampai di satu slide yang menyatakan di Jaman (aku lupa), orang- orang menganggap Chicken atau yang lebih tenar dengan nama Ayam di Indonesia, sebagai binatang suci.
Lha mas KVB ini dengan polosnya berkata, “sejujurnya saya belum baca pembahasan tentang hal ini.”
Kemudian sang Profesor pun menjelaskan sedikit terkait hal tersebut.
Entah sedikit penasaran atau bagaimana, mbak M menuliskan sesuatu di kertasnya kemudian disodorkan ke arahku.
Kalo ditranslatekan kira- kira begini bunyinya: (1) “kayak babi di kebudayaanmu dianggap sebagai binatang yang buruk & kurang beruntung. (2) Apakah budayamu juga punya binatang yang dianggapp suci?”
Aku pun tersenyum, dan bales nulis: (1) “Nggak. (2) No. Eehh..ada ding. di kebudayaan Jawa, kami punya semacam keluarga keraton yang menganggap kerbau itu binatang suci.”
Dia pun makin tertarik dengan babi thing, “terus kenapa kamu ga makan babi?”
“apa yang mereka lakukan dengan kerbau itu?”
Aku tulis lagi, “karena alasan agama. sebagian orang Indonesia makan kok”. dan sebelum aku menjawab masalah si kerbau, dia nanya lagi tentang si babi.
“kenapa agamamu ga mengijinkan kamu makan babi?”
“karena disebutkan di Al-qur’an. dan dengan pertimbangan kesehatan.” aku pun teringat dengan reasoning yang diberikan dalam sebuah diskusi, aku lupa tepatnya. tapi aku menambahkan, “pertimbangannya mungkin karena babi hidup di tempat kotor, jorok, & bau” serta “ada semacam cacing pita atau sumber penyakit yang bisa hidup di dalam daging babi”.
Diskusi yang diprakarsai oleh Profesor pun makin sengit dan menuntut perhatian penuh dari kami berdua, hingga akhirnya memadamkan diskusi private kami. Hanya sejenak. Karena kemudian ia menulis, “kita akan selesaikan ini nanti seusai kelas”.
Dia sangat tertarik dengan perdebatan ini. I can tell.
(bel kampus bernyanyi..teng tong teng)
Selesai berkemas, kami keluar ruangan.
Dia pun makin gencar berargumen, “irrasional. sapi pun hidup di tempat yang kotor & ayam makan kotoran babi. apakah agamamu mengijinkan hal itu?
Terus terang aku hanya mengetahui 2 considerations itu tadi dan tidak mungkin mengajukan argumentasi “karena aku percaya perintah & larangan Tuhanku adalah demi kebaikanku. Meskipun mungkin saat ini aku belum tau reasoning dibalik larangan itu, tapi pasti suatu saat nanti akan terbuka bahwa itu memang demi kebaikanku. seperti dalam kasus cacing pita dalam daging babi.”
Rasanya mustahil untuk memberikan alasan yang berlandaskan “faith” untuk orang semacam ini. Orang yang menganggap segala sesuatu harus bisa dinalar oleh logika. Aku juga harus menggelontorkan serangan balik yang logis untuk meredakan pertanyaannya. Untuk membuatnya tersadar, atau bahkan sekedar mengangguk dan berkata “oohh..”.
Sayangnya aku sangat memalukan.
Aku belum mampu menyuguhkan jawaban yang memuaskan, yang tidak bisa ditentang oleh logikanya.
Hiroshima masih bermandikan hujan.
dan hatiku pun turut menangis karena kebodohanku. Aku gagal mempertahankan agamaku.
Aku sangat malu. Mengaku cinta, tapi tak tahu apa- apa tentang diri-Nya.
Sedangkan saat kita mencintai keturunan adam-hawa yang lain, dengan segenap hati dan seluruh daya upaya dikerahkan untuk mengenalnya sebaik mungkin. Bagaimana mungkin aku tak mengenal Penciptaku dengan baik??
Merugi sekali umurku ini.
Aku benar- benar tertampar dengan pertanyaan temanku itu.
Sepanjang perjalanan pulang, aku terus melangkah maju. Tapi pikiranku mengulas kembali memory masa kecilku.
Saat itu aku sedang menempuh pendidikan SMP, entah kelas 2 atau 3.
Karena mengikuti kelas Unggulan, aku diharuskan mengikuti pelajaran tambahan seusai jam sekolah. Setiap hari Senin-Jumat, aku selalu pulang jam 4 sore.
Lelah & Capek, itu sudah makanan sehari- hari. Sampai akhirnya aku mencaplok jam mengajiku di mushola untuk istirahat. Karena malam harinya, aku harus belajar lagi & mengerjakan PR.
Suatu hari seseorang bertanya padaku, “kok sekarang uda ga pernah ngaji lagi, Cin?
“Iya mas, capek e. Pulang sekolah sampe sore”.
“Untuk sekolah (baca: nuntut ilmu dunia) aja kamu habiskan setengah harimu. Tapi kenapa untuk mengaji (baca: menimba ilmu akhirat) yang cuma beberapa jam, kamu perhitungan banget??”
Kata- kata itu membekas banget, bahkan sampai sekarang. Dan mungkin ga akan aku lupa kecuali kalau amnesia (amit2, jangan sampai).
Aku sudah ditampar sekali, tapi belum bangun juga. Walaupun secara keseluruhan, aku merasa sudah mengalami perbaikan.
Namun tetap saja, ternyata aku belum bangun sepenuhnya. Saking sayangnya Allah padaku, Ia mengingatkanku kembali sekarang.
Di negeri asing, melalui orang yang memiliki jalan pikir sangat berbeda pula.

Segelintir Waktu, Segenggam Rasa

Ketika rasa cinta itu telah sirna, hanya kebaikan yang tersisa.
Akan ku genggam kepingan kenangan itu, karena kaulah cinta pertamaku.

Pahit.
Manis.
Lucu.
Indah.
Sedih.
Senang.
Susah.
Tangis.
Tawa.
Sakit.
Bahagia.
Ku cicipi semua rasa itu saat bersamamu.
Tak tau mana yang lebih dominan, tapi semuanya saling mengisi.
Berkombinasi dan berarti.

Aku tak kan menjadi seperti sekarang tanpa melewati masa bersamamu.
Aku tak kan terjatuh untuk kemudian bangkit kembali tanpa berbagi hari denganmu.
Dulu, aku mencintaimu.
Sekarang, aku menyayangimu.

Benci.
Marah.
Cemburu.
Curiga.
Penuh tanda tanya.
Merasa berdosa.
Sesal.
Derita.
Paduan rasa itu sempat singgah dihatiku,
saat kau tak acuhkan diriku..
atau aku yang tak mampu mengerti dirimu?
ah, mungkin saja memang ini jalan yang harus dilalui.
Lingkaran hidup kita ber-irisan pada satu titik yang menyatukan kita di masa yang tlah lalu.
Hingga tiba saatnya, irisan itu bertemu di titik lain yang mengakhiri segalanya.
Segala hal tentang aku dan kamu.
Tentang kita.

Cukup singkat.
Cukup menyenangkan.
Cukup menyebalkan.
Lebih dari cukup untuk diabadikan.

Pagi ini aku terbangun,
Nasib kembali menggiring bayang wajahmu ke pelupuk mataku.
Sejenak aku termenung.
Sepersekian detik kemudian, bibirku melengkung membentuk sebuah senyuman.
Mengingat betapa lama semuanya telah berlalu.
Terlalu usang untuk di ingat memang, apalagi disesali.
That’s the way  it has to go..
Tapi tak pernah ada label “tak terlalu penting” untuk disyukuri.

Awal keluar dari irisan itu, aku merasa sangat nelangsa.
Aku senang melihatmu tersenyum.
Aku terbiasa bersandar padamu saat aku lelah.
Masih kuingat lembut belaimu, penuh kasih.
Sejujurnya aku merindu tatapan cinta itu.
Sorot mata yang seolah bercerita lebih banyak daripada sekedar kata “aku sayang kamu”.